7 Maratib Amal

Assalamualaikum wbt.

Ingin saya kongsikan kepada ikhwah/akhawat sekalian penerangan tentang 7 Maratib Amal sebagai sarana untuk mengembalikan islam semula di atas muka bumi. Moga ianya menambah kefahaman kita akan apa yang kita kerjakan selama ini.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Insan Muslim

Jika pembentukan insan muslim memiliki peran yang sangat mendasar dari beberapa misi dan tujuan menurut Al-Ikhwan Al-Muslimun – maksud dari manusia di sini adalah sosok laki-laki dan perempuan, anak kecil laki-laki dan perempuan, pemuda dan pemudi – maka sarana untuk membentuk manusia yang memiliki karakter sejati dalam aqidah, keimanan, pemahaman, amal dan kontribusinya adalah terangkum pada beberapa hal berikut:

1. Murabbi yang bergerak dalam pembinaan dan pembentukan.

2. Metode yang tersusun dan manhaji.

3. Lingkungan yang memiliki ideologi dan kemampuan memadai.

Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki perhatian yang sangat besar terhadap tarbiyah; karena hal itu merupakan jalan menuju orisinalitas pemahaman, pembenaran dan pendisiplinan gerak dan perbuatan, menjelaskan yang halal dan yang haram, yang wajib dan urgensi kebangkitan dengannya; guna meraih ganjaran dan pahala dari sisi Allah. Sebagaimana hal tersebut untuk mengokohkan dan memurnikan nilai-nilai dan karakter ukhuwah, tsiqah dan ribat (hubungan erat); karena penopangnya adalah Al-Quran dan Sunnah. Jika ada kesalahan pada salah satu dari tiga hakikat tersebut di atas maka akan merusak semuanya, karena tidak ada keraguan dalam menelurkan pribadi muslim dan wajihah yang memiliki konsern dalam memberi dan memantau (mutabaah) terhadap tarbiyah kecuali dengan pemahaman yang benar dan utuh, mengerahkan segala potensi yang dimiliki untuk menerapkan pemahamannya tersebut.

Ukuran dan tegaknya tarbiyah yang benar dan muntijah yang sesuai dengan kapasitas akal manusia dan hatinya pada ilmu, dzikir, amal dan kontribusi. Karena semua itu merupakan neraca kecemerlangan yang seyogianya menjadi bagian dari kesetiaan dan loyalitasnya dalam wirid harian, i’tikaf tahunan, qiyamullail, dan kesungguhannya terhadap akhlaq yang mulia, tajarrud (ikhlas) dalam melakukan aktivitas kemaslahatan umum dan menghindar dari kemaslahatan pribadi, memiliki prestasi yang baik dalam ilmu dan pengetahuan, dan kesungguhannya dalam menunaikan perannya di tengah keluarga dan masyarakatnya, di rumah dan tempat kerjanya.

Tentunya juga perhatian dan semangat terhadap hafalan Al-Quran dan Hadits, mensinkronkan antara hafalan dan pengamalan serta keagamaan yang memiliki perhatian yang sangat besar oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun, komitmen dengan manhaj yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah, perhatian dalam membangun dan mendidik para pemuda, orang tua dan anak-anak terhadap tanzhim dan tartib (sistem dan keteraturan), yang diiringi oleh amal tarbawi; semangat dalam meraih target yang diinginkan dan ditentukan.

Rumah Tangga Muslim

Jika rumah tangga muslim sebagai tujuan kedua dari beberapa tujuan yang diinginkan oleh jamaah, maka sarana yang dapat direalisasikan kepada pengaplikasian dan perwujudannya di muka bumi ini yang menjadi perhatian jamaah adalah merealisasikan hal-hal yang dapat menuju pada tujuan tersebut, di antaranya:

1. Memberikan kepada setiap muslim perhatian yang diinginkan terhadap rumah tangganya baik terhadap suami atau istri atau anaknya.

2. Memberikan aktivitas kewanitaan haknya dalam membaca, menulis, liqa dan halaqah kewanitaan, dan kegiatan yang dibutuhkan oleh kaum wanita.

3. Memilih pasangan wanita yang shalihah dan pasangan lelaki yang shalih.

4. Mengikutsertakan anak pada kegiatan dan aktivitas yang bermanfaat.

5. Membuat dan membentuk perangkat yang dapat memelihara agenda keluarga dari berbagai tingkatannya, merinci peranan wanita muslimah dalam berbagai kegiatan, aktivitas dan pembinaan.

6. Membersihkan suasana rumah tangga muslim dari pelanggaran-pelanggaran, dalam bingkai pemberian pengetahuan yang benar terhadap norma-norma dan pesan yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah.

7. Membuat dalam kelompok dan halaqah kewanitaan perpustakaan khusus wanita.

8. Berusaha menyingkirkan penghalang yang dapat merubah rumah tangga muslim, materi dan non-materi.

Masyarakat atau Bangsa yang Islami

Adalah sesuatu yang sulit untuk diwujudkan atau dihadirkan penerapan ajaran Islam ke tingkat hukum dan pemerintahan, kecuali melalui rakyat yang digerakkan oleh iman, memahami tujuan dan misinya melalui Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya dan mengamalkan keduanya. Pemerintahan yang Islami tidak akan berdiri dengan sendirinya namun harus bersandarkan pada keimanan, dan pondasi dari pemahaman yang benar akan mengintensifkan aktivitas, perjuangan dan usaha; mengharap ganjaran dan balasan yang besar dari Dzat yang telah menurunkan Islam kepada Rasul-Nya SAW, untuk disampaikan kepada manusia sehingga merasuk ke dalam jiwa mereka keimanan yang murni, ke dalam akal dan pikirannya pemahaman yang utuh, serta ke dalam al-jawarih dalam setiap perbuatan, perilaku, dan politik baik perbuatan dan praktek.

Banyak tujuan utama yang diajukan oleh imam Al-Banna, menguatkan pandangannya terhadap permasalahan dari berbagai segi dan tingkatan, sebagaimana beliau mengungkapkan, “Harus ada fatrah (masa) dalam rangka mensosialisasikan prinsip-prinsip yang dipelajari dan diamalkan oleh bangsa, sehingga dapat memberikan pengaruh dalam kebaikan secara umum dan tujuan yang agung terhadap kebaikan individu dan tujuan yang minimal.”

Beliau juga berkata, “Sarananya bukanlah dengan kekuatan, karena dakwah yang benar adalah menyampaikan dakwah ke dalam ruh/jiwa sehingga masuk ke dalam sanubari, mengetuk pintu hatinya yang menutupi jiwanya. Mustahil jika menggunakan tongkat atau menggapai tujuan dengan menggunakan panah yang tajam, namun sarana yang utama berada dalam hati dan pemahaman, agar menjadi nyata dan gamblang.

Eksistensi masyarakat muslim atau bangsa muslim adalah melalui pengenalan dan pembentukan. Rasulullah saw pernah menfokuskan dakwahnya pada setiap jiwa para sahabat, saat beliau mengajaknya untuk beriman dan beramal, menyatukan hati mereka dalam cinta dan persaudaraan, hingga bersatu kekuatan aqidah menjadi kekuatan persatuan, demikian pula seharusnya yang dilakukan para dai yang mengikuti jejak nabi saw, mereka menyeru dengan ideologi dan menjelaskannya, mengajak mereka kepada dakwah; agar beriman dan menerapkannya, bersatu dalam aqidah sehingga wawasan mereka terus bersinar dan menyebar ke segala penjuru, ini semua merupakan sunnatullah dan tidak ditemukan dari sunnah Allah perubahan.”

Jadi cara untuk mengeksistensikan bangsa muslim adalah pengenalan terhadap Islam dan jamaah, membentuk akhlaq dan nilai-nilai Islam, etika dan perilaku, melalui halaqah, sarana komunikasi, melalui kitab, risalah, dialog dan dakwah fardiyah… urgensi fokus tarbiyah berdasar orisinalitas dan ta’ziz (pengokohan) nilai-nilai pengorbanan dan kontribusi.

Pemerintahan Islami

Cara mencapai pemerintahan Islami:

Al-Ikhwan mengangkat syiar dan komitmen dengannya melalui pemahaman mereka terhadap Islam, pengaplikasian dan komitmen dengan nilai-nilainya. Hal ini seperti yang telah digariskan oleh imam Syahid dalam ungkapannya, “Al-Ikhwan Al-Muslimun tidak menuntut diterapkannya hukum Islam untuk diri mereka sendiri, jika ada dari segolongan umat yang siap mengemban amanah yang berat ini dan mampu menunaikan amanah dan hukum dengan manhaj Islam dan Al-Quran, maka mereka adalah prajurit dan tentara penolongnya. Al-Ikhwan bukan para pencari hukum atau dunia, hukum menurut mereka bukan tujuan utama, namun sebagai wasilah dan amanah, tanggung jawab dan beban yang berat.” Beliau menambahkan, “Ikhwan sangat piawai dan cerdas dari mendahulukan terhadap hukum dan umat, maka harus diberikan waktu untuk bisa menyebarkan prinsip-prinsip yang dapat diketahui oleh bangsa; bagaimana bisa memberikan pengaruh terhadap maslahat umum, bagaimana bisa bangkit dengan perannya.” Maknanya adalah bahwa bangsa yang Islami adalah sarana menuju pemerintahan Islami, dan bangsa yang Islami memiliki hak dalam memilih pemerintahannya, dan memberikannya kepada siapa saja yang diinginkan.

Negara Islam

Tujuan kelima dan berpengaruh adalah daulah Islam yang membimbing negeri-negeri Islam kepada persatuan, menyatukan perpecahan umat Islam, mengembalikan negeri mereka yang terampas, sarana untuk mendirikannya harus melalui agenda yang tersusun rapi. Karena itu dakwah yang satu, tanzhim yang satu, konsep yang terpadu dan tarbiyah yang satu yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah nabi-Nya; tauhid, tanzhim, tertata dalam barisan, tersusun secara rapi, bersatu dalam tujuan dan misi, berpedoman pada sarana yang kokoh guna mencapai kepada negara yang diidamkan.

Negara Islam yang satu

Tujuan keenam adalah mendirikan negara Islam yang bersatu, atau perserikatan negara-negara Islam, yang tergabung dalam negara mayoritas muslim. Negara yang satu di bawah pemimpin tunggal, yang berperan dalam pengokohan komitmen terhadap syariat Allah dan penerapannya, memuliakan risalah-Nya, bangga dengan eksistensi Islam di kancah dunia. Adapun sarananya adalah melalui pendahuluan yang benar, berdasar pada kaidah-kaidah yang bersih dan baik, sehingga menjadi bagian dari kemunculan wacana Islam di setiap negeri hingga pada akhirnya dapat merealisasikan agenda terbesar.

Negara Islam Internasional

Adapun tujuan ketujuh adalah usaha menegakkan daulah Islamiyah secara internasional, sehingga dapat mengokohkan hak setiap insan dimana mereka berada –baik kebebasan, keamanan, mengeluarkan pendapat dan ibadah, hingga mencapai pada berdirinya negara Islam bersatu– menunjukkan sarana penjamin terealisasinya agenda utama. Hal tersebut bukanlah mimpi namun kenyataan yang telah diberitakan oleh Rasulullah saw.

Jika daulah Islam dibangun atas dasar keimanan dan bangkit berdasarkan keimanan, sebagaimana potensi yang membentang dengan kekuatan dan kemampuan menuju jalan dan tujuan, berpedoman pada ilmu sebagai dasar dan sarana menggapai kemajuan, filter dan kesejahteraan umat. Kemajuan ilmu dan teknologi yang dibanggakan oleh Amerika secara khusus dan dunia Arab dan kaum muslimin menjelaskan akan urgensi ilmu dalam melengkapi persenjataan modern, guna menjaga dan melindungi diri dari musuh, menghadapi rekayasa dan politik kekuasaan, dan mengungkap kekerdilan pemerintahan negara Arab dan umat Islam, ketika tunduk pada blokade, saat mereka berkomitmen dengan perjanjian padahal musuh-musuhnya tidak pernah komitmen dengannya sehingga kekuatan berada pada mereka dibanding negara Arab dan umat Islam.

Islam menjadikan ilmu sebagai kewajiban, memotivasi umat untuk menuntutnya dan menguasainya sekalipun tidak berada di negerinya sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Dan sebagaimana disabdakan, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China.”

Imam Ibnu Taimiyah berkata, dan beliau memiliki sanad yang shahih dari syariat Allah yang menjadikan ilmu adalah wajib, memotivasi untuk menuntutnya dan menguasainya, “Jika non-muslim maju dalam keilmuan dan seni… maka semua umat Islam berdosa.”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber.

Teguran Dr Yusof Al-Qaradhawi tentang Taksub Jemaah

جماعات من المسلمين لا جماعة المسلمين


فضيلة العلامة الدكتور يوسف القرضاوي


هناك على النقيض من هذه الفكرة فكرة أخرى: ترى العمل الجماعي فريضة، وتحصر هذه الفريضة في جماعة معينة ترى أنها وحدها تمثل الحق الخالص، وما سواها هو الباطل: (فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ). (يونس: 32)


Di sana ada pertentangan dengan fikrah ini (mengharamkan ‘Amal Jama’ie secara haraki) iaitu fikrah yang menyatakan: “Amal Jamai’e itu suatu kefardhuan dan kefardhuan (Amal Jama’i) tersebut hanya terbatas kepada sesuatu jemaah tertentu sahaja. Jemaah itu melihat hanya ia satu-satunya merupakan kebenaran yang mutlak sedangkan jemaah-jemaah (Islam) yang lain adalah batil.

Bagai firman Allah s.w.t. yang bermaksud: “.....Maka apakah lagi setelah kebenaran melainkan kesesatan...." (Surah Yunus: 32)


وبعبارة أخرى تصف هذه الفـئة نفسـها بأنـها "جماعة المسـلمين"، وليـست مجـرد "جماعة من المسلمين" وما دامت هي جماعة المسلمين فكل من فارقها فقد فارق الجماعة، وكل من لم يدخل فيها، فليس في جماعة المسلمين! وكل ما جاء من أحاديث عن (الجماعة) ولزوم "الجماعة"، ومفارقة "الجماعة" تنزل على جماعتها.وهذا النوع من الاستدلال، وتنزيل النصوص على غير ما جاءت له، باب شر على الأمة؛ لأنه يضع الأدلة في غير مواضعها


Dalam ungkapan lain, golongan ini menyifatkan diri mereka sahaja sebagai Jemaah Muslimin, bukannya sekadar salah satu jemaah daripada umat Islam. Selagimana golongan tersebutlah satu-satunya jemaah muslimin (yang perlu disertai oleh seluruh umat Islam), maka sesiapa sahaja yang tidak menyertainya bererti telah berpisah daripada Al-Jamaah (sedangkan al-jamaah yang dimaksudkan dalam hadith-hadith Nabi SAW adalah kelompok umat Islam ). Maksudnya, sesiapa yang tidak menyertai jemaah tersebut, maka tidak menyertai Jemaah Muslimin keseluruhannya. Adapun (bagi mereka)semua hadith-hadith yang berkaitan tentang Al-Jamaah atau kepentingan menyertai Al-Jamaah dan berpisah dari al-Jamaah berkaitan dengan Jemaahnya (golongan tersebut sahaja). Jenis pendalilan sebegini dan meletakkan nas-nas bukan pada konteks asalnya merupakan pintu keburukan dalam Umat Islam kerana meletakkan dalil-dalil bukan pada tempatnya

.

ومن هؤلاء من يجعل الحق مع جماعته أو حزبه دون غيره، لمبررات موضوعية يسبغها على حزبه أو جماعته وحدها، وينفيها عمن سواها.وكثيرًا ما يضع بعضهم أوصافًا فكرية وعملية، عقدية وخلقية، يحدد بها "جماعة الحق" أو "حزب الحق" لتنطبق على جماعته دون غيرها، وهذا نوع من التكلف والتعسف لا يقبله منطق العلم.وثمة آخرون يجعلون التقدم الزمني هو المعيار الأوحد، فمن سبق غيره فهو الجدير بأن يكون هو صاحب الحق، أو محتكر الحق والحقيقة


Ada dari kalangan mereka yang menjadikan kebenaran hanya bersama jemaahnya sahaja atau dalam parti (kumpulan) mereka sahaja, tidak pada jemaah-jemaah yang lain untuk tujuan pembenaran yang dikembangkan (disempurnakan) ke atas kelompok atau jemaahnya sendiri lalu menafikannya daripada jemaah atau kumpulan yang lain daripada kumpulannya..

Sebahagian mereka banyak membentuk sifat-sifat samada ianya dalam bentuk fikrah mahupun praktikal, samada dalam bentuk pegangan mahupun tingkah-laku, yang mana mereka membataskan dengannya (pembentukan sifat-sifat sesuatu kumpulan tersebut dari sudut fikrah, praktikal, pegangan mahupun tingkah laku tersebut) kepada (konsep) Jamaah Al-Haq (satu-satunya jemaah yang benar dalam memahami amal jama’ie yang dimaksudkan oleh Islam) atau Hizb Al-Haq (kumpulan yang benar) agar ianya (konsep satu-satunya jemaah yang benar) dapat diterapkan hanya kepada jemaahnya sahaja, bukan pada jemaah yang lain. Ia merupakan suatu takalluf (pembebanan) dan penyalahgunaan yang tidak dapat diterima oleh logika ilmu itu sendiri. Sebahagian pihak yang lain pula bersifat menjadikan Taqaddum Zamani (dahulunya tempoh masa) sebagai suatu ukuran yang tunggal iaitu, siapa sahaja yang mendahului yang lain (atau jemaah mana yang dibentuk lebih awal) maka dialah pemilik kebenaran atau pihak yang sepatutnya memonopoli kebenaran dan hakikat


حتى زعم بعض الأحزاب في بعض البلاد الإسلامية أنه وحده يمثل الحق؛ لأنه الحزب الأول الذي أخذ زمام المبادرة، وكل حزب يشكل بعد ذلك يجب أن يلغي نفسه، ولا حق له في البقاء؛ لأن قبول الجماهير له بمثابة المبايعة له، وفي الحديث: "إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما".(رواه أحمد ومسلم عن أبي سعيد كما في صحيح الجامع الصغير 421)


Sehingga sebahagian kumpulan di sesetengah negara Islam menyangka bahawasanya kumpulan mereka sahaja mewakili kebenaran kerana ianya merupakan kumpulan pertama yang mengawal inisiatif (dalam amal jama’ie) sedangkan setiap kumpulan yang dibentuk setelah itu (jemaah kedua, ketiga, keempat ditubuhkan)perlu membuang diri mereka dan tidak ada hak untuk kekal (tidak boleh diwujudkan) kerana penerimaan majoriti kepadanya (jemaah yang awal) seumpama suatu bai’ah (khilafah) bagi jemaah tersebut sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadith: “Jika diberi bai’ah kepada dua khalifah, maka perangilah yang terakhir daripada kedua-duanya” [hadith riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim)


إن هذه الفتاوى الجاهلة الجريئة من أناس لم ترسخ أقدامهم في علوم الشريعة. هي التي تورد الأمة شر الموارد، وتوقعها في شر المهالك. ولقد قال بعض الفقهاء في العصور الماضية حين رأى فتاوى بعض من ينتسبون إلى العلم: لبعض من يفتي الناس اليوم أحق بالسجن من السرّاق! وذلك لأن السراق يفسدون دنيا الناس، وهؤلاء يفسدون عليهم دينهم.فكيف لو رأى أولئك الفقهاء ما نقرؤه أو نسمع من فتاوى زماننا؟ ولا حول ولا قوة إلا بالله.


Inilah fatwa-fatwa jahil lagi bersifat cabang yang lahir dariapda manusia yang tidak menguasai ilmu syariah secukupnya. Fatwa sebeginilah yang membawa umat Islam kepada jalan kebinasaan dan meletakkannya dalam kecelakaan. Oleh kerana itu, telah berkata sebahagian Fuqaha’ pada masa-masa terdahulu ketika melihat fatwa-fatwa sesetengah orang yang mengaku-ngaku sebagai ahli ilmu: “Sebahagian daripada mereka yang memberi fatwa kepada manusia awam itu, lebih berhak dimasukkan ke dalam penjara berbanding pencuri-pencuri kerana para pencuri merosakkan dunia manusia sedangkan mereka (orang jahil yang berfatwa) merosakkan agama manusia.


Bagaiamana kalau para fuqaha’ tersebut melihat apa yang kita baca atau kita dengar tentang fatwa-fatwa pada zaman kita pula?


ولا حول ولا قوة إلا بالله

____________________________________________________________________

DI SINI ANA SERTAKAN FATWA PENUH DR.YUSUF QARDHAWI HAFIZAHULLAH


المصدر اسلام أون لاين

المفتي فضيلة الشيخ يوسف القرضاوي


التاريخ 6-9-2005

نص السؤال

تدور أحاديث ومناقشات كثيرة في جلسات خاصة، وندوات عامة، بين الإسلاميين بعـضهم وبعض، وبينهم وبين غيرهم من الفئات الأخرى.

فقد اشتهر بين بعض الفصائل الإسلامية أن الإسلام يوجب الوحدة، ويمنع التفرق والاختلاف، وتعدد الأحزاب لا يأتي من ورائه إلا اختلاف الكلمة، وتفرق الأمة.

وقد ذكر الإمام الشهيد حسن البنا: أن لا حزبية في الإسلام، وبهذا تمسك الكثيرون في رفـضهم لفكر التعدد. ولهم في ذلك شبهات يذكرونها، وأدلة يسوقونها.

فما هو رأي فـضيلتكم في هذا الموضوع الذي يثار اليوم في أكثر من بلد عربي وإسلامي، وخصوصًا في الأقطار التي تتيح الفرصة للتعددية السياسية وفتاوى بالديمقراطية، فهم يقولون: القوى الإسلامية تنادي بالحرية والتعدد حتى إذا قبـضت على زمام الحكم. انفردت هي بالديمقراطية، وألغت كل ما سواها، واعتبرت نفسها هي الحق الذي لا يحتمل الباطل وغيرها هو الباطل الذي لا يحتمل الحق.

فبينوا لنا الموقف الشرعي في ذلك مؤيدًا بالأدلة، جزاكم الله خيرًا وأيدكم بروح من عنده.

جواز تعدد الأحزاب داخل الدولة الإسلامية

نص الجواب

بسم الله، والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد..

يقول فضيلة الشيخ الدكتور يوسف القرضاوي -حفظه الله-:

رأيي الذي أعلنته من سنين في محاضرات عامة، ولقاءات خاصة: أنه لا يوجد مانع شرعي من وجود أكثر من حزب سياسي داخل الدولة الإسلامية، إذ المنع الشرعي يحتاج إلى نص ولا نص.

بل إن هذا التعدد قد يكون ضرورة في هذا العصر؛ لأنه يمثل صمام أمان من استبداد فرد أو فئة معينة بالحكم، وتسلطها على سائر الناس، وتحكمها في رقاب الآخرين، وفقدان أي قوة تستطيع أن تقول لها: لا، أو: لم ؟ كما دل على ذلك قراءة التاريخ، واستقراء الواقع.

كل ما يشترط لتكتسب هذه الأحزاب شرعية وجودها أمران أساسيان:

1ـ أن تعترف بالإسلام ـ عقيدة وشريعة ـ ولا تعاديه أو تتنكر له، وإن كان لها اجتهاد خاص في فهمه، في ضوء الأصول العلمية المقررة.

2ـ ألا تعمل لحساب جهة معادية للإسلام ولأمته، أيًا كان اسمها وموقعها.

فلا يجوز أن ينشأ حزب يدعو إلى الإلحاد أو الإباحية أو اللادينية، أو يطعن في الأديان السماوية عامة، أو في الإسلام خاصة، أو يستخف بمقدسات الإسلام: عقيدته أو شريعته أو قرآنه، أو نبيه عليه الصلاة والسلام.

واجب النصح والتقويم للحاكم

ذلك أن من حق الناس في الإسلام ـ بل من واجبهم ـ أن ينصحوا للحاكم، ويقوموه إذا اعوج، ويأمروه بالمعروف، وينهوه عن المنكر، فهو واحد من المسلمين، ليس أكبر من أن يُنصح ويؤمر، وليسوا هم أصغر من أن يَنصحوا أو يأمروا.

وإذا ضيعت الأمة الأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر، فقدت سر تميزها، وسبب خيريتها، وأصابتها اللعنة كما أصابت من قبلها من الأمم، ممن (كانوا لا يتناهون عن منكر فعلوه لبئس ما كانوا يفعلون). (المائدة: 79).

وفي الحديث : "إذا رأيت أمتي تهـاب أن تــقـول للظـالم: يا ظالم، فقـد تـودع منهم" (رواه أحمد بن حنبل في مسنده عن عبد الله بن عمرو وصححه الشيخ شاكر، ورواه الحاكم وصححه ووافقه الذهبي 4/96).

وفي الحديث الآخر: "إن الناس إذا رأوا الظالم، فلم يأخذوا على يديه، أوشك أن يعمهم الله بعقاب من عنده" (رواه أبو داود في سننه من حديث أبي بكر كما رواه أحمد وأصحاب السنن وقال الترمذي: حسن صحيح).

وعندما ولي أبو بكر الخلافة قال في أول خطبة له: "أيها الناس إن أحسنت فأعينوني، وإن أسأت فقوموني .. أطيعوني ما أطعت الله فيكم، فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم".

وقال عمر: "أيها الناس من رأى منكم في اعوجاجًا فليقومني"، فقال له رجل: والله لو رأينا فيك اعوجاجًا لقومناه بحد سيوفنا ! فقال عمر: :"الحمد لله الذي جعل في المسلمين من يقوم اعوجاج عمر بحد سيفه !".

ولكن علمنا التاريخ، وتجارب الأمم، وواقع المسلمين: أن تقويم اعوجاج الحاكم ليس بالأمر السهل، ولا بالخطب اليسير، ولم يعد لدى الناس سيوف يقومون بها العوج، بل السيوف كلها يملكها الحاكم

تنظيم النصح والتقويم في صورة قوى سياسية

الواجب هو تنظيم هذا الأمر لتقويم عوج الحكام بطريقة غير سل السيوف، وشهر السلاح.

وقد استطاعت البشرية في عصرنا ــ بعد صراع مرير، وكفاح طويل ــ أن تصل إلى صيغة للأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وتقويم عوج السلطان، دون إراقة للدماء وتلك هي وجود "قوى سياسية" لا تقدر السلطة الحاكمة على القضاء عليها بسهولة، وهي ما يطلق عليها "الأحزاب ".

إن السلطة قد تتغلب بالقهر أو بالحيلة على فرد أو مجموعة قليلة من الأفراد، ولكنها يصعب عليها أن تقهر جماعات كبيرة منظمة، لها امتدادها في الحياة وتغلغلها في الشعب، ولها منابرها وصحفها وأدواتها في التعبير والتأثير.

فإذا أردنا أن يكون لفريضة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر معناها وقوتها وأثرها في عصرنا، فلا يكفي أن تظل فريضة فردية محدودة الأثر، محدودة القدرة، ولا بد من تطوير صورتها، بحيث تقوم بها قوة تقدر على أن تأمر وتنهى، وتنذر وتحذر، وأن تقول عندما تؤمر بمعصية: لا سمع ولا طاعة. وأن تؤلب القوى السياسية على السلطة إذا طغت، فتسقطها بغير العنف والدم.

إن تكوين هذه الأحزاب أو الجماعات السياسية أصبحت وسيلة لازمة لمقاومة طغيان السلطات الحاكمة ومحاسبتها، وردها إلى سواء الصراط، أو إسقاطها ليحل غيرها محلها، وهي التي يمكن بها الاحتساب على الحكومة، والقيام بواجب النصيحة والأمر بالمعروف، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

تصور غير صحيح للدولة الإسلامية

ربما يتصور بعض المخلصين أن الدولة التي تحكم بشرع الله، وترجع في كل أمورها إلى حكمة، لا تحتاج إلى كل هذا، فهي دولة ملتزمة وقافة عند حدود الله تعالى.

فعلى العاملين أن يجاهدوا حتى تقوم هذه الدولة المنشودة: فإذا قامت كانت كما وصفها الله تعالى: (الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونَهَوْا عن المنكر). (الحج : 41).

وحينئذ عليهم أن يسلموا لها الزمام، وأن يمنحوها كامل الولاء والطاعة والتأييد.

وأحب أن أقول لهؤلاء: إن "الدولة الإسلامية" ليست هي "الدولة الدينية" التي عرفت في مجتمعات أخرى، أعني: إنها دولة مدنية تحتكم إلى الشريعة، رئيسها ليس "إمامًا معصوما"، وأعضاؤها ليسوا "كهنة مقدسين" بل هم بشر يصيبون ويخطئون، ويحسنون ويسيئون، ويطيعون ويعصون، وعلى الناس أن يعينوهم إذا أحسنوا، ويقوموهم إذا أساؤا، ويرفضوا أمرهم إذا أمروا بمعصية، كما قال أبو بكر رضي الله عنه في خطابه الأول، بل كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: "السمع والطاعة حق على المرء المسلم فيما أحب وكره، ما لم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولاطاعة". (متفق عليه عن ابن عمر).

وإذا انتفت العصمة والقداسة فكل الناس بشر، لا يؤمن أن تغرهم الحياة الدنيا ويغرهم بالله الغرور، فيستبدوا ويظلموا، وأشد أنواع الاستبداد خطرًا ما كان باسم الدين، فإذا لم توضع الضوابط، وتهيأ السبل لمنعه من الوقوع، وإزالته إذا وقع، حاق الضرر بالأمة، وأصاب شرره الدين أيضًا.

ولهذا كان إيجاد قوى منظمة تعمل في وضح النهار، وتقدر على أن تعين المحسن وتقوم المسيء، أمرًا يرحب به الشرع ويؤيده، لما وراءه من جلب المصالح ودرء المفاسد.

وأكبر الخطأ أن تظن الدولة، أو يظن بعض الموالين لها: أن الحق معها وحدها، والصواب دائمًا في جانبها، وأن من خالفها فهو على خطأ، بل على باطل.

ولقد رأينا المعتزلة حين استقلوا بالحكم، وانفردوا بالسلطان في عهد الخليفة المأمون ابن الرشيد، وفي عهدي الواثق والمعتصم من بعده، أرادوا أن يفرضوا رأيهم على الكافة، وأن يمحوا الرأي الآخر، من خريطة الفكر، وقاوموا بالسوط والسيف رأي الفئات الأخرى، التي لا ترى رأيهم في القضية الكبرى التي أثاروها والمعروفة في تاريخ العقيدة والفكر باسم قضية "خلق القرآن".

وكانت محنة عنيفة شديدة العنف، أوذي فيها رجال كبار، وأئمة عظام، على رأسهم الإمام التقي الورع أحمد بن حنبل.

وسجل التاريخ على القوم الذين زعموا أنهم أهل العقل وأحرار الفكر، هذه الجريمة المخزية التي يندى لها الجبين، وهي: جريمة اضطهاد المعارضين في الرأي، إلى حد السجن والضرب والتعذيب، ولو كانوا من كبار العلماء.

تعدد الأحزاب كتعدد المذاهب في الفقه:

وعندما نجيز مبدأ التعدد الحزبي داخل الدولة الإسلامية، فليس معناه أن تتعدد الأحزاب، والتجمعات بتعدد أشخاص معينين، يختلفون على أغراض ذاتية، أو مصالح شخصية، فهذا حزب فلان، وذاك حزب علان، وآخر حزب هيان بن بيان. جمعوا الناس على ذواتهم، وأداروهم في أفلاكهم.

ومثل ذلك التعدد المبني على أساس عنصري، أو إقليمي، أو طبقي، أو غير ذلك من إفرازات العصبية، التي يبرأ منها الإسلام.

إنما التعدد المشروع هو تعدد الأفكار والمناهج والسياسات يطرحها كل فريق مؤيدة بالحجج والأسانيد، فيناصرها من يؤمن بها، ولا يرى الإصلاح إلا من خلالها.

وتعدد الأحزاب في مجال السياسة أشبه شيء بتعدد المذاهب في مجال الفقه.

إن المذهب الفقهي هو مدرسة فكرية لها أصولها الخاصة في فهم الشريعة، والاستنباط من أدلتها التفصيلية في ضوئها، وأتباع المذهب هم في الأصل تلاميذ في هذه المدرسة يؤمنون بأنها أدنى إلى الصواب من غيرها، وأهدى سبيلاً، فهم أشبه بحزب فكري التقى أصحابه على هذه الأصول، ونصروها بحكم اعتقادهم أنها أرجح وأولى، وإن كان ذلك لا يعني بطلان ما عداها.

ومثل ذلك الحزب: أنه مذهب في السياسة، له فلسفته وأصوله ومناهجه المستمدة أساسًا من الإسلام الرحب. وأعضاء الحزب أشبه باتباع المذهب الفقهي، كل يؤيد ما يراه أولى بالصواب، وأحق بالترجيح.

قد تلتقي مجموعة من الناس على أن الشورى ملزمة، وأن الخليفة أو رئيس الدولة ينتخب انتخابًا عامًا، وأن مدة رئاسته محددة ثم يعاد انتخابه مرة أخرى، وأن أهل الشورى هم الذين يرضاهم الناس عن طريق الانتخاب، وأن للمرأة حق الانتخاب وحق الترشيح للمجلس، وأن للدولة حق التدخل لتسعير السلع، وإيجار الأرض والعقار وأجور العاملين، وأرباح التجار، وأن الأرض تستغل بطريق المزارعة لا بطريق المؤاجرة، وأن في المال حقوقًا سوى الزكاة، وأن الأصل في العلاقات الخارجية السلم، وأن أهل الذمة يعفون من الجزية إذا أدّوا الخدمة العسكرية وهي ما يقابل الزكاة التي تؤخذ من المسلم .. إلخ.

وقد تلتقي مجموعة أخرى من "المحافظين" يعارضون أولئك "المجددين" أو أدعياء التجديد في نظرهم، فيرون الشورى معلمة لا ملزمة، وأن رئيس الدولة يختاره أهل الحل والعقد، ويختار مدى الحياة، وأن الانتخاب ليس وسيلة شرعية، والمرأة ليس لها حق الترشيح ولا حق التصويت، وأن الاقتصاد حر، والملكية مطلقة، وأن الأصل في العلاقات الخارجية هو الحرب، وأن الخليفة أو الرئيس هو صاحب الحق في إعلان الحرب أو قبول السلم، وغير ذلك من الأفكار والمفاهيم التي تشمل الحياة الاجتماعية والاقتصادية والسياسية والعسكرية والثقافية وغيرها.

وقد توجد مجموعة أخرى لا هي مع هؤلاء ولا مع أولئك، بل توافق هؤلاء في أشياء وأولئك في أشياء.

فإذا انتصرت فئة من هذه الفئات، وأصبحت مقاليد السلطة بيدها، فهل تلغى الفئات الأخرى من الوجود، وتهيل على أفكارها التراب، لمجرد أنها صاحبة السلطان ؟

هل الاستيلاء على السلطة هو الذي يعطي الأفكار حق البقاء ؟ والحرمان من السلطة يقضى عليها بالفناء ؟

إن النظر الصحيح يقول : لا، فمن حق كل فكرة أن تعبر عن نفسها ما دام معها اعتبار وجيه يسندها، ولها أنصار يؤيدونها.

أما ما ننكره في ميدان السياسة فهو ما ننكره في ميدان الفقه: التقليد الغبي والعصبية العمياء، وإضفاء القداسة على بعض الزعامات كأنهم أنبياء، وهذا هو منبع الوبال والخبال

.

التعدد والاختلاف:

ومن الشبهات التي أثيرت هنا : أن مبدأ "التعدد" أو "التعددية" ــ كما هو المصطلح السائد ــ يتنافى مع الوحدة التي يفرضها الإسلام، ويعتبرها صنو الإيمان كما يعتبر الاختلاف أو التفرق أخا للكفر والجاهلية.

وقد قال تعالى: (واعتَصِمُوا بِحَبْلِ الله جميعًا ولا تفرقوا) (آل عمران: 103). وقال: (ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم). (آل عمران: 105).

وفي الحديث : "لا تختلفوا فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا". (متفق عليه).

وأود أن أنبه هنا على حقيقة مهمة، وهي أن التعدد لا يعني بالضرورة التفرق، كما أن بعض الاختلاف ليس ممقوتًا، مثل الاختلاف في الرأي نتيجة الاختلاف في الاجتهاد ؛ ولهذا اختلف الصحابة في مسائل فرعية كثيرة، ولم يضرهم ذلك شيئًا.. بل اختلفوا في عصر النبي –صلى الله عليه وسلم- في بعض القضايا مثل اختلافهم في صلاة العصر في طريقهم إلى بني قريظة.. وهي قضية مشهورة، ولم يوجه الرسـول الكريم لومًا إلى أي من الفريقين المختلفين.

وقد اعتبر بعضهم هذا النوع من الاختلاف من باب الرحمة التي وسع بها على الأمة وفيها ورد الأثر "اختلاف أمتي رحمة" وفيه ألف كتاب "رحمة الأمة باختلاف الأئمة".

ونقلوا عن الخليفة الراشد عمر بن عبد العزيز أنه لم يكن يود أن الصحابة لم يختلفوا؛ لأن اختلافهم فتح باب السعة والمرونة واليسر للأئمة، بتعدد المشارب وتنوع المنازع.

وبعضهم جعل اختلاف الرحمة يتمثل في اختلاف الناس في علومهم وصناعاتهم، وبذلك تسد الثغرات وتلبي الحاجات المتعددة والمتنوعة للجماعات.

والقرآن يعتبر اختلاف الألسنة والألوان آية من آيات الله تعالى في خلقه، يعقلها العالمون منهم: (ومن آياته خلق السماوات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين). (الروم: 22).

فليس كل الاختلاف شرًا، بل الاختلاف قسمان : اختلاف تنوع، واختلاف تضاد، والأول محمود، والآخر مذموم. (انظر في ذلك: كتابي "الصحوة الإسلامية بين الاختلاف المشروع والتفرق المذموم"، ط. دار الوفاء).

تعدد الجماعات العاملة للإسلام

لطالما ذكرت في كتبي ومحاضراتي أنه لا مانع أن تتعدد الجماعـات العاملة للإسلام ما دامت الوحدة متعذرة عليهم بحكم اختلاف أهدافهم واختلاف مناهجهم، واختلاف مفاهيمهم، واختلاف ثقتهم بعضهم ببعض.

على أن يكون هذا التعدد تعدد تنوع وتخصص لا تعدد تعارض وتناقض، يقف الجميع صفًا واحدًا في كل القضايا المصيرية التي تتعلق بالوجود الإسلامي وبالعقيدة الإسلامية وبالشريعة الإسلامية، وبالأمة الإسلامية.

وعلى أية حال يكون حسن الظن والتماس العذر فضيلة يتصف بها جميع الأطراف فلا تأثيم ولا تضليل ولا تكفير.. بل تواصي بالحق، وتواصي بالصبر، وتناصح في الدين، مع التزام الحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتي هي أحسن.

ومثل هذا التعدد أو الاختلاف ـ اختلاف التنوع ـ لا يؤدي إلى تفرق ولا عداوة، ولا يلبس الأمة شيعًا، ويذيق بعضها بأس بعض، بل هو تعدد واختلاف في ظل الأمة الواحدة، ذات العقيدة الواشجة. فلا خوف منه، ولا خطر فيه، بل هو ظاهرة صحية.

نقول هذا قبل قيام الدولة الإسـلامية، ونقـوله بعد قيام الدولة الإسـلامية، فهي دولة لا تضيق بالخلاف ذرعًا، ولا تحكم بالإعدام على كل الأفكار التي تبنتها قبلها جماعات قبلها ؛ لأن الأفكار لا تموت ولا تقبل حكم الإعدام، ما لم تمت هي من نفسها بظهور أفكار أقوى منها.

التعدد مبدأ مستورد! :

من الشبهات التي تثار هنا أيضًا : ما يقال : إن التعدد الحزبي مبدأ مستورد من الديمقراطية الغربية، وليس مبدأ إسلاميًا أصيلا نابعًا منا، وصادرًا عنا، وقد نهينا أن نتشبه بغيرنا، ونفقد ذاتيتنا "ومن تشبه بقوم فهو منهم".

والواجب أن يكون لنا استقلالنا الفكري والسياسي، فلا نتبع سنن غيرنا شبرًا بشبر، وذراعًا بذراع.

ونحن نقول : إن الذي نهينا عنه، وحذرنا منه، هو : التقليد الأعمى لغيرنا بحيث نغدو مجرد ذيول تَتبع ولا تُتبع، وتمضي خلف غيرها في كل شيء "حتى لو دخلوا جحر ضب لدخلتموه".

والتشبه الممنوع هو ما كان تشبها فيما هو من علامات تميزهم الديني كلبس الصليب للنصارى، والزنار للمجوس، ونحو ذلك، مما يدخل صاحبه في زمرة المتشبه بهم، ويحيله كأنه واحد منهم.

أما الاقتباس منهم فيما عدا ذلك مما هو من شؤون الحياة المتطورة فلا حرج فيه، ولا جناح على من فعله، والحكمة ضالة المؤمن أنَّى وجدها فهو أحق الناس بها.

وقد حفر الرسول -صلى الله عليه وسلم- خندقًا حول المدينة، ولم تكن مكيدة تعرفها العرب، إنما هي من أساليب الفرس، أشار بها سلمان رضي الله عنه.

واتخذ الرسول -صلى الله عليه وسلم- خاتمًا يختم به كتبه، حين قيل له : إن الملوك لا يقبلون الكتاب إلا إذا كان مختومًا.

واقتبس عمر نظام الخراج، ونظام الديوان.

واقتبس معاوية نظام البريد.

واقتبس من بعده أنظمة مختلفة.

وعلى هذا لا غضاضة ولا حرج من اقتباس مبدأ التعدد الحزبي من الديمقراطية الغربية بشرطين.

أولهما : أن نجد في ذلك مصلحة حقيقية لنا، ولا يضرنا أن نخشى من بعض المفاسد من جرائه، المهم أن يكون نفعه أكبر من ضرره، فإن مبنى الشريعة على اعتبار المصالح الخالصة أو الغالبة، وعلى إلغاء المفاسد الخالصة أو الراجحة.. وقوله تعالى في الخمر والميسر : (قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما) (البقرة: 291) أصل في هذا الباب.

وثانيهما : أن نعدل ونطور فيما نقتبسه، حتى يتفق مع قيمنا الدينية ومثلنا الأخلاقية، وأحكامنا الشرعية، وتقاليدنا المرعية.

ولا يجبرنا أحد أن نأخذ النظام بحذافيره وتفاصيله، ومنها : التعصب للحزب بالحق وبالباطل، ونصرته ظالمًا ومظلومًا، على ظاهر ما كان يقوله العرب في الجاهلية : "انصر أخاك ظالمًا أو مظلوما" قبل أن يعدل الرسول عليه الصلاة والسلام مفهومها لهم، ويفسرها تفسيرًا يجعل لها معنى آخر، فنصره ظالمًا بأن تأخذ فوق يديه، وتمنعه من الظلم، فبذلك تنصره على هوى نفسه، ووسوسة شيطانه

.

لمن الــولاء:

من الشبهات التي أثيرت كذلك : ما قيل من أن وجود أحزاب داخل الدولة الإسلامية يقسم ولاء الفرد بين حزبه الذي ينتمي إليه، ودولته التي بايعها على السمع والطاعة والنصرة والمعونة.

هذا صحيح إذا كان الفرد سيتخذ موقف المعارضة للدولة في كل شيء والتأييد لحزبه في كل شيء.. وهذا ما لا نقول به.

إن ولاء المسلم إنما هو لله ولرسوله ولجماعة المؤمنين، كما قال تعالى : (إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون.ومن يتولى الله ورسوله والذين آمنوا فإن حزب الله هم الغالبون). (المائدة: 55،56).

وانتماء الفرد المسلم إلى قبيلة أو إقليم، أو جمعيـة، أو نقابة، أو اتحاد أو حـزب ـ لا ينافي انتماءه للدولة وولاءه لها.

فإن هذه الولاءات والانتماءات كلها مشدودة إلى أصل واحد هو الولاء لله ولرسوله وللمؤمنين، والمحظور كل المحظور هو اتخاذ الكافرين أولياء من دون المؤمنين : (أيبتغون عندهم العزة فإن العزة لله جميعـًا) (النساء: 139)، (يأيها الذين آمنــوا لا تتخذوا عدوي وعدوكـم أولياء). (الممتحنة: 1).

وإذا كان النمط الحزبي المعهود هو تأييد الفرد لحزبه في مواقفه، وإن اعتقد أنه مبطل بيقين، ومعارضة الدولة وإن اعتقد أنها على حق، فهذا ما لا نقره ولا ندعو إليه، وما ينبغي تعديله إلى صيغة تتفق وقيم الإسلام وأحكامه وآدابه

الإمام على يقر وجود حزب الخوارج:

إذا رجعنا إلى تراثنا الخصب، وإلى سنته الراشدين خاصة ـ وهم الذين أمرنا أن نتبع سنتهم ونعض عليها بالنواجذ ـ نجد أن أمير المؤمنين على بن أبي طالب رضي الله عنه وكرم الله وجهه سمح بوجود حزب مخالف له في سياسته ومنهجه إلى حد انتهى به إلى اتهامه بالكفر والمروق، وهو ابن الإسلام البكر، ولم يكتفـوا بهذا الموقف النظري الفكري، فسلوا عليه السيوف، وأعلنوا عليه الحرب، واستحلوا دمه ودم من ناصره، بدعوى أنه حكم الرجال في دين الله، ولا حكم إلا لله بنص القرآن الكريم : (إن الحكم إلا لله). (يوسف: 40).

وحين سمع الإمام على رضي الله عنه هذه الكلمة، رد عليهم بجملته التي أصبحت مثلاً يرويه التاريخ، وذلك قوله : كلمة حق يراد بها باطل!.

ومع هذا لم يلغ وجودهم، ولم يأمر بمطاردتهم وملاحقتهم، حتى لا يبقى لهم أثر، بل قال لهم في صراحة وجلاء: لكم علينا ثلاث : ألا نمنعكم مساجد الله، ولا نحرمكم من الفيء ما دامت أيديكم في أيدينا، ولا نبدأكم بقتال.

هذا وهم الخوارج، الذين يمثلون المعارضة المسلحة، والقوة التي بلغت بها الشجاعة حد التهور.

حسن البنا والأحزاب

أنا أعلم أن الإمام الشهيد حسن البنا، أنكر قيام الحزبية وتعدد الأحزاب في الإسلام.

وهو اجتهاد منه رضي اللّه عنه، لما رآه في زمنه من حزبية فرقت الأمة في مواجهة عدوها، وهي أحزاب اجتمعت على أشخاص لا على أهداف واضحة، ومناهج محددة، وقد قال عن رجال الأحزاب، وزعمائها في بعض رسائله: إن المستعمر يفرقهم بعضهم عن بعض، ويجمعهم عليه، فلا يقصدون إلا داره، ولا يجتمعون إلا زواره!.

ولا بأس أن يخالف اجتهاد إمامنا رحمه اللّه، فهو لم يحجز على من بعده أن يجتهدوا كما اجتهد، وخصوصًا إذا تغيرت الظروف وتطورت الأوضاع والأفكار. ولعله لو عاش إلى اليوم لرأى ما رأينا، فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والحال. ولا سيما في أمور السياسة الكثيرة التغيير.

والعارفون بحسن البنا يعلمون أنه لم يكن جامدًا ولا متحجرًا، بل كان يتطور، ويطور أفكاره وسياسته، وفقًا لما يتبين له من الأدلة والاعتبارات.

والعلمانيون يصورون الدولة الإسلامية المبتغاة بأنها الدولة التي لا تسمح بصوت يرتفع، أو برأي يعارض، أو بجماعة تقول: لم؟ بلهَ: لا!

والواقع ينطق بأن في الساحة قوى مختلفة، وجماعات متعددة، تنطلق من الإقرار بالإسلام، والانقياد له، ولكنها مختلفة الرؤى والمفاهيم والبرامج والخطط، فإذا قدر لبعضها أن يمتلك زمام السلطة بوسيلة أو بأخرى، فهل يأذن لسائر الجماعات والقوى بالبقاء والاستمرار أم يقضى عليها بأن تختفي من المسرح، وتتوارى إلى الأبد؟

إن الأرشد والأوفق أن تظل هذه القوى في الساحة داعية موجهة، آمرة بالمعروف، ناهية عن المنكر، ناصحة لله ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم.

تعدد الأحزاب قبل قيام الدولة

إن كان تعدد الأحزاب والقوى السياسية مشروعًا في ظل الدولة الإسلامية، الملتزمة بأحكام الإسلام، فمن باب أولى أن يكون تعدد الجماعات والأحزاب مشروعًا قبل قيام دولة الإسلام، فلا مانع أن يوجد في ساحة العمل الإسلامي أكثر من جماعة تسعى لإقامة المجتمع المسلم، والدولة المسلمة، وتجاهد في سبيل الله بكل وسيلة مشروعة.

فتوى جريئة في تحريم تكوين الجماعات لنصرة الإسلام

مما يجب التنبيه عليه، ولا يحسن السكوت عنه هنا: ما يشيعه بعض الأفراد وبعض الفئات التي تحمل النسب الإسلامي، من أفكار تتعلق بهذا الجانب.

ومن ذلك ما صدر لبعضهم من حكم أو فتوى تجعل أي تكوين لجماعة، أو انتساب إليها عملا محرمًا، وابتداعًا في الدين لم يأذن به الله، سواء سميت هذه المؤسسة جماعة أو جمعية أو حزبًا، أو ما شئت من الأسماء والعناوين.

وهذه جرأة غريبة على دين الله، وتهجم على الشرع بغير بينة، وتحريم لما أحل الله بغير سلطان. فالأصل في الأشياء والتصرفات المتعلقة بعادات الناس ومعاملاتهم الإباحة. وتكوين الجماعات العاملة للإسلام منها.

بل الصـواب أن تكـوين هذه الجماعات مما توجـبه نصـوص الشـرع العامـة، وقواعـده الكلية.فالله تعالى يقول : (وتعاونـوا على البر والتقوى) (المائدة: 2)، ويقول : (واعتصموا بحبل اللّه جميعًا ولا تفرقوا). (آل عمران: 103).

والرسول -صلى الله عليه وسلم- يقول: "المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا" (متفق عليه عن أبي موسى. ورواه أيضًا الترمذي والنسائي كما في صحيح الجامع الصغير 6654)، "يد الله مع الجماعة ومن شذ شذ في النار". (رواه الترمذي في سننه من حديث ابن عمر).

والقاعدة الفقهية تقول: "ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب". ومن المؤكد أن خدمة الإسلام في هذا العصر، والمحافظة على كيان أمته، والعمل لإقامة دولته، لا يمكن أن يتم بجهود فردية متناثرة هنا وهناك، بل لا بد من عمل جماعي يضم القوى المتشتتة، والجهود المبعثرة والطاقات المعطلة، ويجند الجميع في صف منتظم، يعرف هدفه، ويحدد طريقه.

يؤكد هذا أن القوى المعادية للإسلام، والتي تعمل لأهداف أخرى، لا تعمل متفرقة، بل في صورة كتل قوية ومؤسسات جماعية كبرى، تملك أضخم القوى المادية والبشرية.

فكيف نواجههـا فـرادى متفرقين، والمعركـة تقتضي رص الجميع في صف واحـد، كما قال الله تعالىإن اللّه يحب الذين يقاتلون في سبيله صَفّا كأنهم بُنْيان مرصـوص). (الصف: 4).

إن العمل الجماعي لنصرة الإسلام، وتحرير أرضه، وتوحيد أمته، وإعلاء كلمته فريضة وضرورة. فريضة يوجبها الدين، وضرورة يحتمها الواقع، والعمل الجماعي يعني تكوين جماعات أو أحزاب تقوم بهذا الواجب.

جماعات من المسلمين لا جماعة المسلمين

هناك على النقيض من هذه الفكرة فكرة أخرى: ترى العمل الجماعي فريضة، وتحصر هذه الفريضة في جماعة معينة ترى أنها وحدها تمثل الحق الخالص، وما سواها هو الباطل: (فماذا بعد الحق إلا الـضلال). (يونس: 32).

وبعبارة أخرى تصف هذه الفـئة نفسـها بأنـها "جماعة المسـلمين"، وليـست مجـرد "جماعة من المسلمين" وما دامت هي جماعة المسلمين فكل من فارقها فقد فارق الجماعة، وكل من لم يدخل فيها، فليس في جماعة المسلمين!

وكل ما جاء من أحاديث عن (الجماعة) ولزوم "الجماعة"، ومفارقة "الجماعة" تنزل على جماعتها.

وهذا النوع من الاستدلال، وتنزيل النصوص على غير ما جاءت له، باب شر على الأمة؛ لأنه يضع الأدلة في غير مواضعها.

ومن هؤلاء من يجعل الحق مع جماعته أو حزبه دون غيره، لمبررات موضوعية يسبغها على حزبه أو جماعته وحدها، وينفيها عمن سواها.

وكثيرًا ما يضع بعضهم أوصافًا فكرية وعملية، عقدية وخلقية، يحدد بها "جماعة الحق" أو "حزب الحق" لتنطبق على جماعته دون غيرها، وهذا نوع من التكلف والتعسف لا يقبله منطق العلم.

وثمت آخرون يجعلون التقدم الزمني هو المعيار الأوحد، فمن سبق غيره فهو الجدير بأن يكون هو صاحب الحق، أو محتكر الحق والحقيقة.

حتى زعم بعض الأحزاب في بعض البلاد الإسلامية أنه وحده يمثل الحق؛ لأنه الحزب الأول الذي أخذ زمام المبادرة، وكل حزب يشكل بعد ذلك يجب أن يلغي نفسه، ولا حق له في البقاء؛ لأن قبول الجماهير له بمثابة المبايعة له، وفي الحديث: "إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما". (رواه أحمد ومسلم عن أبي سعيد كما في صحيح الجامع الصغير 421).